Sunday, August 17, 2014

Sejarah

Pada  umumnya masyarakat dengan cepat mengidentifikasikan nama desa Kenderan dengan keindraan (Istana Dewa Indra) dalam dunia pewayangan.  Pendapat masyarakat ini mendorong pimpinan desa  mewujudkan asumsi mereka dalam lambang desa, dengan menempatkan gambar Dewa Indra sebagai atribut pokok. Kepercayaan masyarakat ini sudah berurat berakar, sehingga letak geografis desa, kesuburan dan keindahan desa diimajinasikan sama dengan Kraton Dewa Indra di Indraloka.

Ada dua lokasi yang perlu mendapat perhatian untuk mengawali proses sejarah Desa Kenderan. Lokasi tersebut adalah Petirtaan Telagawaja dan desa Manuaba. Nama Manuaba sendiri sering dikaitkan dengan nama-nama desa sekitarnya yang juga memakai nama manuk (burung) sebagai nama desa.   Yang perlu diketengahkan adalah praduga beberapa orang saerjana arkeologi tentang kekuknaan Manuaba  sebagai sebuah pemukiman. Di Desa manuaba ditemukan serpihan alat pencetak nekara perunggu. Rekontruksi imaginatif terhadap penemuan ini memberi petunjuk bahwa alat cetak ini ada hubungannya dengan nekara perunggu yang ada di Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng.

Petirtaan Telagawaja memberikan petunjuk bahwa tempat tersebut merupakan sebuah pertapaan ( Wihara ). Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya ceruk-ceruk untuk bersemedi, ceruk untuk beristirahat, pancuran mandi dan pancuran air suci.  Pada bibir ceruk yang paling besar terdapat relief yang berbentuk huruf.  Bukti-bukti ini memberi petunjuk bahwa Telagawaja yang terletak di tepian barat Desa Kenderan, sejak abad XI telah merupakan kegiatan keagamaan yang dapat dipastikan berpengaruh pada masyarakat DesaKenderan pada jaman itu.

Dalam abad XVII pada pemerintahan Dalem Di Made yang beristana di Gelgel, telah datang ke Desa Manuaba seorang Pendeta bernama Pedanda Sakti Buruan.  Beliau dikenal dalam cerita rakyat sebagai seorang Pendeta yang mengutamakan kehidupan religius ( Kadyatmikaan) dan mengabdi pada kesejahteraan masyarakat. Hal ini nampak jelas dengan peninggalan beliau di Desa Manuaba Berupa sebuah Pura dan sebuah bendungan.

Semua kebaikan dan kemakmuran yang telah diwujudkan oleh sang pendeta, telah menimbulkan iri hati beberapa kepala wilayah pada masa itu. Salah seorang diantaranya bernama Gusti Batu Lepang. Rasa iri dan khawatir menghadapi wibawa Sang Pendeta, telah mendorong Batu Lepang beserta para pengikutnya menyerbu dan merusak pemukiman sang pendeta di Manuaba. Dalam pertempuran Sang Pendeta lenyap, sedangkan istri, putra-putra dan cucunya berhasil meloloskan diri kearah timur.

Setelah kepergian keluarga Pendeta Sakti Manuaba, muncul elit baru memimpin masyarakat manuaba. Elite baru ini berasal dari klan Kesatria Taman Bali ( Bangli ). Kapan Elite baru ini mulai bermukim di desa Manuaba, sukar sekali menemukan batasan tahun yang tepat. Yang jelas adalah bahwa elite baru telah memindahkan pusat kegiatan pemerintahan desa, dari Manuaba ke Kenderan. Tidak ditemukan petunjuk mengapa pimpinan yang baru ini memindahkan pusat pemerintahan desa ke Kenderan.

Ketika pulau Bali pecah menjadi sembilan kerajaan kecil ( sekitar tahun 1651 M ), desa Kenderan termasuk Wilayah manca agung Tegallalang dan berada dalam kekuasaan kerajaan Bangli. Status desa Kenderan adalah Penggawa ( setingkat dibawah manca agung, tetapi diatas pembekel gede ). Ada kemungkinan bahwa pada masa inilah Ksatria Taman Bali mulai ditempatkan sebagai elite desa yang baru di desa Kenderan. Mereka bertugas mempertahankan tapal batas kerajaan dengan kerajaan Gianyar. Tetapi ketika Gianyar berhasil merebut wilayah ini dari kerajaan Bangli, maka dengan sendirinya desa Kenderan masuk Wilayah Kerajaan Gianyar.

No comments:

Post a Comment