Pada umumnya masyarakat dengan cepat
mengidentifikasikan nama desa Kenderan dengan keindraan (Istana Dewa Indra)
dalam dunia pewayangan. Pendapat
masyarakat ini mendorong pimpinan desa
mewujudkan asumsi mereka dalam lambang desa, dengan menempatkan gambar
Dewa Indra sebagai atribut pokok. Kepercayaan masyarakat ini sudah berurat
berakar, sehingga letak geografis desa, kesuburan dan keindahan desa
diimajinasikan sama dengan Kraton Dewa Indra di Indraloka.
Ada dua lokasi
yang perlu mendapat perhatian untuk mengawali proses sejarah Desa Kenderan.
Lokasi tersebut adalah Petirtaan Telagawaja dan desa Manuaba. Nama Manuaba
sendiri sering dikaitkan dengan nama-nama desa sekitarnya yang juga memakai
nama manuk (burung) sebagai nama desa.
Yang perlu diketengahkan adalah praduga beberapa orang saerjana
arkeologi tentang kekuknaan Manuaba
sebagai sebuah pemukiman. Di Desa manuaba ditemukan serpihan alat
pencetak nekara perunggu. Rekontruksi imaginatif terhadap penemuan ini memberi
petunjuk bahwa alat cetak ini ada hubungannya dengan nekara perunggu yang ada
di Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng.
Petirtaan
Telagawaja memberikan petunjuk bahwa tempat tersebut merupakan sebuah pertapaan
( Wihara ). Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya ceruk-ceruk untuk bersemedi,
ceruk untuk beristirahat, pancuran mandi dan pancuran air suci. Pada bibir ceruk yang paling besar terdapat
relief yang berbentuk huruf. Bukti-bukti
ini memberi petunjuk bahwa Telagawaja yang terletak di tepian barat Desa
Kenderan, sejak abad XI telah merupakan kegiatan keagamaan yang dapat
dipastikan berpengaruh pada masyarakat DesaKenderan pada jaman itu.
Dalam
abad XVII pada pemerintahan Dalem Di Made yang beristana di Gelgel, telah
datang ke Desa Manuaba seorang Pendeta bernama Pedanda Sakti Buruan. Beliau dikenal dalam cerita rakyat sebagai
seorang Pendeta yang mengutamakan kehidupan religius ( Kadyatmikaan) dan
mengabdi pada kesejahteraan masyarakat. Hal ini nampak jelas dengan peninggalan
beliau di Desa Manuaba Berupa sebuah Pura dan sebuah bendungan.
Semua
kebaikan dan kemakmuran yang telah diwujudkan oleh sang pendeta, telah
menimbulkan iri hati beberapa kepala wilayah pada masa itu. Salah seorang
diantaranya bernama Gusti Batu Lepang. Rasa iri dan khawatir menghadapi wibawa
Sang Pendeta, telah mendorong Batu Lepang beserta para pengikutnya menyerbu dan
merusak pemukiman sang pendeta di Manuaba. Dalam pertempuran Sang Pendeta
lenyap, sedangkan istri, putra-putra dan cucunya berhasil meloloskan diri
kearah timur.
Setelah
kepergian keluarga Pendeta Sakti Manuaba, muncul elit baru memimpin masyarakat
manuaba. Elite baru ini berasal dari klan Kesatria Taman Bali ( Bangli ). Kapan
Elite baru ini mulai bermukim di desa Manuaba, sukar sekali menemukan batasan
tahun yang tepat. Yang jelas adalah bahwa elite baru telah memindahkan pusat
kegiatan pemerintahan desa, dari Manuaba ke Kenderan. Tidak ditemukan petunjuk
mengapa pimpinan yang baru ini memindahkan pusat pemerintahan desa ke Kenderan.
Ketika
pulau Bali pecah menjadi sembilan kerajaan kecil ( sekitar tahun 1651 M ), desa
Kenderan termasuk Wilayah manca agung Tegallalang dan berada dalam kekuasaan
kerajaan Bangli. Status desa Kenderan adalah Penggawa ( setingkat dibawah manca
agung, tetapi diatas pembekel gede ). Ada kemungkinan bahwa pada masa inilah
Ksatria Taman Bali mulai ditempatkan sebagai elite desa yang baru di desa
Kenderan. Mereka bertugas mempertahankan tapal batas kerajaan dengan kerajaan
Gianyar. Tetapi ketika Gianyar berhasil merebut wilayah ini dari kerajaan
Bangli, maka dengan sendirinya desa Kenderan masuk Wilayah Kerajaan Gianyar.
No comments:
Post a Comment